Sebuah foto dokumentasi World Council of Churches memperlihatkan para pemimpn Pacific Conference of Chruch (PCC), yaitu, (baris depan) Moderator PCC, Pdt. Dr Tevita Havea; Presiden PCC Pacific, Pdt.Dr. Mele'ana Puloka, WCC dan mantan Presiden PCC Pasifik, John Doom. (Baris Belakang): Wakil Moderator PCC, Pdt Lola Koloamatangi, dan Sekjen PCC, Pdt Francois Pihaatae.(Foto:WCC)
Pertemuan para pemimpin gereja-gereja Pasifik yang berlangsung di Auckland, Selandia Baru, belum lama ini, menghasilkan tujuh rekomendasi, yang salah satunya adalah meneguhkan kembali seruan penentuan nasib sendiri atau referendum bagi rakyat Papua.
Sikap ini agak berbeda dengan pendirian pemimpin gereja Katolik se-Oseania yang juga melakukan pertemuan di kota yang sama, awal pekan ini, yang justru memilih untuk tak bersikap perihal penentuan nasib sendiri bagi Papua, dengan alasan, "bila agenda tentang Papua hanya berfokus pada soal aspirasi merdeka, dapat mengaburkan hal lain yang dianggap lebih penting" dan kemungkinan "perhatian untuk menegakkan dan memperkuat institusi demokrasi lokal dapat diabaikan."
Menurut pernyataan yang dikeluarkan oleh Pacific Conference of Church (PCC), yang berkantor pusat di Suva, Fiji, para pemimpin gereja-gereja Pasifik yang didominasi oleh gereja-gereja Protestan menegaskan sikap mereka dengan mendasarkan rekomendasi pada Firman Allah dan pada sebuah kalimat Pdt Martin Luther King, yang menyatakan bahwa "Tak ada yang merdeka bila tidak semuanya merdeka." Kalimat ini merujuk pada keberadaan rakyat Papua yang dianggap sebagai rumpun Melanesia, dan seluruh rakyat Melanesia belum mengalami kemerdekaan apabila ada yang belum merdeka di antara rumpun Melanesia, termasuk rakyat Papua.
“Kami para pemimpin gereja Pasifik melalui kebijaksanaan kehendak Tuhan, menyerukan hal-hal berikut untuk dilaksanakan, pertama, Penentuan Nasib Sendiri: Kami melanjutkan mendukung seruan negara-negara Pasifik agar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melakukan penyelidikan terhadap pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua. Tuhan menciptakan manusia untuk merdeka dan menentukan nasib sendiri dan karena itu kami melanjutkan dukungan terhadap seruan penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua,” demikian salah satu bagian dari pernyataan resmi tersebut, yang salinanya diterima oleh satuharapan.com, Jumat (18/08), yang sebelumnya juga sudah disiarkan oleh tabloidjubi.com.
Dalam bagian Pembukaan pernyataan yang diberi judul Moana Calls for Action, disebut nama-nama gereja yang diwakili oleh pemimpin yang bertemu, yaitu Gereja Anglikan Melanesia, Keuskupan Anglikan Polinesia, Uskup Katolik di Papua Nugini dan Kepulauan Solomon, Gereja Kristus Vanuatu, Gereja Kristen Kongregasi di Samoa, Gereja Kristen Kepulauan Cook, Gereja Lutheran Injili Di Papua Nugini, Ekalesia Kelisiano Tuvalu, Ekalesia Kerisiano Niue, Gereja Injili di Kaledonia Baru dan Kepulauan Loyalitas, Dewan Gereja Fiji, Perserikatan Gereja di Papua Nugini, Dewan Gereja Papua Nugini, Gereja Presbyterian Vanuatu, Gereja Wesleyan Gratis Dari Tonga, Samoa National Council of Churches, Etaretia Porotetani Maohi, Gereja Methodis di Fiji dan Rotuma, Gereja Presbyterian St. Andrews, Kiribati Uniting Church, Nauru Congregational Church dan the Methodist Church of Samoa.
Seruan dukungan penentuan nasib sendiri kepada Papua dalam pernyataan ini tidak terlepas dari seruan yang sama terhadap hak rakyat Melanesia di negara lain, seperti rakyat Bougainville di Papua Nugini dan rakyat Kanaky di Kaledonia Baru.
"Kami terus mendukung inisiatif baru untuk penyelesaian politik bersama bagi penentuan nasib sendiri Bougainville antara pemerintah Papua Nugini dan pemerintah otonom Bougainville. Kami akan mendukung usaha gereja-gereja Bougainville dan Papua Nugini dalam membantu pemerintah mereka mengusahakan penyelesaian politik damai penentuan nasib sendiri dan hasil referendum Bougainville di tahun 2019."
Selanjutnya dikatakan, "Kami mendukung perjuangan terus menerus rakyat Kanaky (Kaledonia Baru) dalam usaha mereka bagi penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan menentukan masa depan politik mereka. Kami mengakui legalitas Kesepakatan Noumea dan meminta para penandatangannya untuk mematuhi semangat dokumen hukum yang mengikat ini dan melanjutkan referendum yang direncanakan pada tahun 2018."
"Kami memohon Prancis menggunakan kekuatan dan pengaruhnya untuk memastikan bahwa referendum dilaksanakan dengan adil dan dalam suasana damai dan aman dimana semua rakyat Kanaky dapat berpartisipasi menentukan masa depan Kanaky."
Selain isu penentuan nasib sendiri dan HAM, gereja-gereja se-Pasifik ini juga membahas isu Seabed mining, diaspora di Pasifik, kepemimpinan dalam gereja, hubungan gereja dengan negara, kepercayaan/agama baru dan keanggotaan Konferensi Gereja Pasifik.
PCC dipimpin oleh Moderator, Pdt Dr. Tevita Havea, dan Sekretaris Jenderal, Pdt Francois Pihaatea. Angota PCC saat ini terdiri dari 27 gereja, sembilan dewan gereja di 17 negara kepulauan dan teritori.
satuharapan.com
0 komentar:
Post a Comment