Jelang HUT RI ke-72, Sudahkah Umat Beragama Indonesia Terbiasa Dengan Toleransi Semacam Ini?


Ratusan siswa sekolah menengah dari sekolah negeri dan swasta di Jakarta dikabarkan tengah mengikuti ‘Wisata Rumah Ibadah’ yang digelar Komunitas Bhineka. Para siswa ini pun dibawa mengunjungi rumah ibadah enam agama yang ada di ibu kota pada Rabu, 9 Agustus 2017 kemarin.

Satu-satunya tujuan digelarnya acara ini adalah untuk menyebarkan semangat toleransi beragama dikalangan generasi muda Indonesia. Adapun rumah ibadah dikunjungi siswa-siswi sekolah ini terdiri dari Gereja Kristen Immanuel, Gereja Katolik Katedral, Masjid Istiqlal, Vihara Kenteng Bahtera Bhakti Ancol, Klenteng Konghuchu dan Pura Agung Adhitya Jaya Rawamagun. Siswa siswi yang terdiri dari beragam agama itu sangat terbuka untuk mau mendengar tokoh agama tertentu menjelaskan soal agamanya. Tak satupun yang menolak untuk belajar lebih dalam soal agama tertentu, sebagaimana siswa muslim mendengar penuturan seorang pendeta soal sejarah gereja dan seluk beluk kehadiran gerejanya. Begitu pula dengan siswa beragama lain yang dengan tenang dan terbuka mendengar penjelasan dari tokoh agama lain yang mereka kunjungi.

Sebagai negara yang beragam, apakah Indonesia sudah terbiasa dengan toleransi semacam ini? Mengingat Indonesia akan memasuki Hari Ulang Tahun (HUT)-nya yang ke-72 pada 17 Agustus 2017 mendatang, apakah kita sudah benar-benar menghidupi toleransi beragama di bangsa ini?

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mendefinisikan toleransi sebagai sebuah sikap untuk mau dan mampu menerima sesuatu yang berbeda dengan dirinya, dan mampu menghargai perbedaan. Keberagaman yang melahirkan perbedaan merupakan sesuatu yang tidak dapat ditolak oleh siapapun. Justru melalui perbedaan itulah semua orang bisa saling melengkapi dan menyempurnakan satu sama lain, bukan saling meniadakan harkat dan martabat kemanusiaan.

Karena agama hadir justru agar kemajemukan dan keragaman bisa kita ambil nilai positif dan kemanfaatnya,” ucap Lukman, seperti dilansir Liputan6.com, Rabu (2/8).

Menteri Lukman tidak menepis krisis toleransi yang belakangan ini menyerang umat beragama di Indonesia. Hal ini disampaikannya dalam sebuah diskusi di Taman Marzuki pada 22 Juli 2017 lalu. Dia mengaku bahwa ada kecenderungan mengerasnya kehidupan beragama di Indonesia, munculnya kelompok radikal dan fanatik, yang justru menyebabkan terjadinya perpecahan antar umat beragama diantaranya, banyaknya teror, konflik penggusuran rumah ibadah, kasus penistaan agama (sebagaimana dialami oleh mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)) dan kasus-kasus lainnya.

Selain itu, krisis toleransi ini juga semakin diperkeruh dengan memakai sentimen SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) dalam percaturan politik. Sebagaimana kericuhan yang terjadi di Pemilu Presiden 2014 dan Pilkada DKI 2017 lalu.

Sebagaimana dibeberkan dalam survei kebebasan beragama atau berkeyakinan di tahun 2016, Setara Institute mencatat terjadi 208 kasus pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan sepanjang tahun itu. Selain itu ditemukan pula pelanggaran kebebasan beragama sebanyak 270 kasus yang tersebar di 24 daerah di tanah air.

Inilah yang menjadi refleksi kita bersama menyambut HUT RI ke-72. Setelah sekian lama negara ini berdiri, apakah keharmonisan antarumat beragama ini masih mustahil terwujud di bangsa ini? Persoalan ini pun tampaknya menjadi fokus utama Presiden Joko Widodo (Jokowi) belakangan ini. Dia menegaskan bahwa satu-satunya cara untuk mengelola keragaman dan perbedaan di tanah air adalah dengan lebih banyak mengajarkan masyarakat soal pemahaman toleransi itu sendiri. Selain itu, Presiden Jokowi juga menghimbau supaya setiap warga negara (yang berbeda keyakinan) bisa menghidupi ideologi Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai konsesus bersama antar seluruh elemen bangsa.

Konstitusilah yang menjaga agar tidak ada satupun kelompok yang secara sepihak memaksakan kehendaknya tanpa menghormati hak-hak warga negara yang lain. Selain itu sebagai negara demokrasi, Indonesia menjadikan konstitusi sebagai rujukan utama dalam membangun praktik demokrasi yang sehat dan terlembaga,” terang Jokowi.

Keberhasilan Jokowi saat memimpin kota Solo mengilhaminya untuk menerapkan cara berdialog dan meneguhkan kembali konstitusi sebagai dasar kehidupan di Indonesia. “Pengalaman mengelola kota ini (Solo) mengajarkan kepada saya, bahwa demokrasi dialogis dan prinsip-prinsip konstitusionalisme menjadi cara yang terbaik dalam mengelola keragaman,” terangnya.

Hidup harmonis di tengah masyarakat majemuk tentunya adalah harapan besar yang bisa terjadi di Indonesia. Untuk itu, di usia baru Indonesia tahun ini mari merefleksi kembali tentang kontribusi yang bisa kita berikan untuk mewujudkan toleransi ini di bangsa kita.

jawaban.com
www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net

0 komentar:

Post a Comment