Kasus-Kasus Pembatalan Perkawinan Kanonik (Nullitas Matrimonii)




Dalam konteks studi hukum gereja, kasus pembatalan perkawinan kanonik adalah kasus di mana perjanjian perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan itu tidak sah sehingga tidak tercipta sebuah perkawinan. Jika pasangan suami – isteri telah menikah secara kanonik telah berpisah dan berdamai kembali menjadi tidak mungkin, kasus-kasus itu disampaikan pada kuasa Gereja untuk diselidiki. Kuasa Gereja yang dimaksudkan adalah Tribunal Perkawinan Keuskupan (memang tidak semua keuskupan memiliki Tribunal karena keterbatasan tenaga ahli). Dalam proses anulasi perkawinan itu jika terbukti dan perjanjian perkawinan itu dinyatakan batal maka pihak-pihak yang berperkara bebas membangun kehidupan perkawinan yang baru.
Jenis-jenis kasus pembatalan perkawinan

Kanon 1057, KHK 1983, menyatakan ada tiga syarat dasar supaya sebuah perkawinan sah kanonik.

Tiga syarat itu adalah:
(1) Adanya saling kesepakatan tanpa cacat mendasar untuk perkawinan,
(2) Dilaksanakan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang mempunyai kemampuan legitim untuk melaksanakan perkawinan itu, yakni tidak terhalang oleh halangan yang menggagalkan dari hukum ilahi atau hukum positif (gerejawi dan sipil);
(3) Secara publik dilaksanakan dengan tata peneguhan yang diwajibkan hukum, yakni sebagaimana dituntut oleh hukum gereja atau negara.

Maka secara singkat dapat dikatakan bahwa ada 3 hal yang dapat membatalkan perkawinan:

a. Kasus karena cacat dalam kesepakatan perkawinan,

b. Kasus karena halangan yang menggagalkan,

c. Kasus karena cacat atau ketiadaan tata peneguhan kanonik.


Kanon 1671 dan 1476 menegaskan bahwa perkara-perkara perkawinan orang-orang yang telah dibaptis dari haknya sendiri merupakan wewenang hakim gerejawi dan siapapun baik dibaptis maupun tidak, dapat menggugat di pengadilan. Adapun pihak tergugat secara legitim harus menjawabnya. Dengan demikian perkawinan apa saja, di mana salah satu pihak sudah dibaptis dapat dinyatakan batal oleh tribunal perkawinan gerejawi.


Kanon 1674 menyatakan: yang dapat menggugat perkawinan adalah
(1) pasangan suami-isteri;
(2) promotor iustitiae, jika nullitasnya sudah tersiar apabila perkawinan itu tidak dapat atau tidak selayaknya disahkan.

Dengan demikian entah pihak manapun yang berperkara bahkan pihak yang tidak terbaptis dapat membawa perkaranya ke Tribunal perkawinan Gerejawi untuk memohon pembatalan perkawinan (bahkan jika ia yang menyebabkan batalnya perkawinan). Namun demikian usaha untuk rujuk kembali perlu diusahakan pihak-pihak yang bersengketa. Ini adalah tugas pastoral kristiani dan utama bagi Pastor dan umat beriman. Di beberapa negara hukum sipil menuntut bahwa sebelum pasangan suami isteri memulai proses perceraian, mereka harus terlebih dahulu menghadap panitia rujuk kembali (di Indonesia belum ada), badan yang didirikan oleh Pemerintah (Gereja). Sebenarnya tiap keuskupan bahkan paroki bisa mendirikan sendiri semacam komisi rujuk (perdamaian), baru setelah badan itu menyatakan tidak mampu mendamaikan pasangan itu, mereka bisa meminta untuk mengajukan pembatalan perkawinan. Sebagai catatan penting: sebuah tribunal gerejawi hanya akan memulai sidang-sidang perkara perkawinan jika usaha rujuk kembali praktis sudah tidak mungkin lagi.


Perkara pembatalan perkawinan dapat ditangani melalui peradilan gereja (Tribunal perkawinan) atau di luar pengadilan maksudnya diputuskan oleh Ordinaris wilayah. Ada dua macam proses peradilan yakni: proses biasa sebagaimana dalam proses peradilan Gereja (bdk kann 1671-1685) dan proses dokumental (bdk, kann. 1686-1688). Proses biasa digunakan untuk semua kasus, kecuali untuk perkara yang penyebabnya adalah halangan yang menggagalkan, atau cacat dalam tata peneguhan yang sah atau perwakilan secara tidak sah dan ada bukti-bukti dokumental. Sedangkan perkara tidak adanya sama sekali tata-peneguhan yang sah di luar pengadilan.




Sebuah dekret pernyataan pembatalan perkawinan adalah sebuah pengakuan yang dibuat oleh Hakim gerejawi dalam sebuah kalimat peradilan. Pernyataan itu diperkuat oleh hakim pengadilan gerejawi lain bahwa pengakuan itu telah terbukti dengan kepastian moral bahwa ketika perkawinan dilangsungkan ada suatu penyebab pembatalan. Dalam ranah hukum kanonik, [artinya salah satu atau keduanya (yaitu suami dan istri) tersebut adalah Katolik], jika perkawinan mereka sama sekali tidak diteguhkan dengan tata peneguhan kanonik, maka persatuan itu bukanlah sebuah perkawinan. Karena dilaksanakan secara tidak sah, maka tidak bisa disebut sama sekali sebagai sebuah perkawinan. Persatuan semacam itu tidak bisa dinyatakan batal, tetapi bila mau diadakan sebuah penyelidikan, seperti misalnya penyelidikan pertunangan biasa yang menyatakan tidak adanya tata peneguhan kanonik dan bisa dibuktikan, lalu bisa diberikan surat bebas untuk menikah kembali kepada pihak yang bersangkutan oleh Ordinaris wilayah. Oleh karena itu, dikatakan bahwa kasus ini diurus secara luar peradilan maksudnya tanpa formalitas peradilan (proses dokumental kann. 1686-1688).

kaskus.co.id
www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net

0 komentar:

Post a Comment